Tuesday, June 19, 2007

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus
diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan
keuangan negara atau perekonomlan negara, juga menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi;
c. bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsl sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam
masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan labih efektif dalam
mencegah dan momberantas tindak pidana korupsi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud .
dalam huruf a. b, dan c perlu dibentuk Undang-undang.yang baru
tentang Pomberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Mengingat :

l. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/
1998 tentang Penyelengpara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme.

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

M e m u t u s k a n :
Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.


BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-undang Ini yang dimaksud dengan:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. pegawai Negeri adalah meliputi :
a. pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang Kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi .


BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 4

Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 3.

Pasal 5

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (rima) tahun dan atau denda paling
Sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 6

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
210 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjarm paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus km puiuh jute ruplah) dan paling banyak
Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima pulufl juta rupiah).

Pasal 7

Setiap oranq yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
387 atau Pasal 388 Kitab Undang-undanq Hukum Pidana, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 350.000.000,00 (tige ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 8

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 750.000.000,00 -(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 9

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit
Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 10

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagalmana dimaksud dalam Pasal
417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00
(tiga ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 11

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (Nma) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 12

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
419. Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana dipidana (3) dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
Paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 13

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,
atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan
tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 14

Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas
menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai
tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.

Pasal 15

Setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan atau permufakatan jahat
untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Pasal 16

Setiap orang di dalam wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan
bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana
korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal (7)

Pasal 17

Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3
Pasal 5 sampai dengan pasal 14 terdakwa dapat dijatuhi tambahan sebagaimana
dimaksud dalam.

Pasal 18.

(1) Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
sebagai pidana tambahan adalah :
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud barang
tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pun harga dari barang yang menggantikan barang
tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
C. penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana;
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya
dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b , maka
dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum
dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan
karenanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Pasal 19

(1) Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa
tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan
dirugikan.
(2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk
juga barang pihak ke yang mempunyai itikad baik maka pihak ketiga tersebut
dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan dalam
waktu paling lambat 2 (dun) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di
sidang terbuka untuk umum.
(3) Pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
menangguhkan atau merighentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
(4) Dalam kaadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim meminta keterangan
penuntut umum dan pihak yang berkepentingan.
(5) Penetapan hakim atas surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pemohon atau penuntut umum.

Pasal 20

(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oieh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut
baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi maka korporasi terus
diwakili oleh pengurus.
(4) Penqurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
diwakili oleh orang lain
(5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke
sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan ke pengurus di
tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda,
dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

TINDAK PIDANA BAB III
LAIN YANG BERKAITAN
DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 21

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan
secara Langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
disidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp 150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 22

Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 atau
Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan
yang tidak benar, dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000.00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus
juta rupiah).
Pasal 23

Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 220, pasal 231, Pasal 421, pasal 442, pasal 429 atau pasal 430 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) Tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00
(Tiga ratus juta rupiah)

Pasal 24

Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31
dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 150.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah)


BAB IV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN,
DAN PEMERIKSAAN Di SIDANG PENGADILAN
Pasal 25

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang segera menyerahkan salinan
berkas berita acara sidang tersebut pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi
didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.

Pasal 26

Penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Pasal 27

Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka
dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.

Pasal 28

Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan beri keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga
mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.

Pasal 29

(1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang
pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan
kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
(2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia melakukan tindak pidana korupsi,
maka keterangan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja,
terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap.
(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk
memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil
dari korupsi .
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh
bukti yang cukup atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank
pada hari itu juga mencabut pernblokiran.

Pasal 30

Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui
pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan
perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.

Pasal 31

(1) Dalam penyidikan den pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang
lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama
atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat
diketahuinya identitas pelapor.
(2) Sebelum perneriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.

Pasal 32

(1) Dalam hal ponyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur
tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata
telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk
dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan
untuk mengajukan gugatan.
(2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak
untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.

Pasal 33

Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara
Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan
perdata terhadap ahli warisnya.

Pasal 34

Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di
sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah, ada kerugian keuangan negara,
maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang
tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

Pasal 35

(1) Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali
ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung. Istri atau suami, anak, dan
cucu dari terdakwa.
(2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui
secara tegas oleh terdakwa.
(3) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat
memberikan keterangan sebagai, saksi, tanpa disumpah.

Pasal 36

Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat
atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang
menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.

Pasal 37

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan baginya.
(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan
harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka
keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang
sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya.

Pasal 38

(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang
pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus
tanpa kehadirannya.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan
dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi
dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dlanggap sebagai
diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut
umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau
diberitahukan kepada kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat
bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak
pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan
perampasan barang-barang yang telah disita.
(6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat
dimohonkan upaya banding.
(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada
pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Pasal 39

Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang
yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.

Pasal 40

Dalam hal terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di
lingkungan Peradilan Militer, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 123 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer tidak dapat diberlakukan.

BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 41

(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan
dalam bentuk :
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan
telah terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
C. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di
sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan
tanggung jawab dalam upaya mencegah dan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau
ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya;
5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 42

(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah
berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan
tindak pidana korupsi.
(2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 43

(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai
berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang
melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas
unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja,
pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi
sebagaimana dmaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Undang-undang.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor
3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 45

Undang-undang Ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.

M U L A D I


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 140


--------------------------------------------------------------------------------


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI


1. U M U M
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya
dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan
tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara
terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya.
Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat
untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat,
karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian
negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya
krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang No. 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu
memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam
rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak
pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya
segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul
karena:
(a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
(b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum,
dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan
pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan
kepada seluruh kehidupan rakyat.
Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan
negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka
tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan
sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara "melawan hukum"
dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tsb,
pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula
mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan
masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Dalam Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara
tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting uantuk
pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam
Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan
kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke
pengadilan dan tetap dipidana.
Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang ini adalah
korporasi Sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat
dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalam Undang-undang No. 3
Tahun 1971.
Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah
dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat
ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya,
yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang
lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan
pidana. Selain itu, Undang-undang ini memuat juga pidana penjara
bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana
tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.
Undang-undang ini juga memperluas pengertian Pegawai Negeri, yang
a.l. adalah orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi
yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.
Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa yang
diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak
wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif,
termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal baru lainnya adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang
sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan
oleh Jaksa Agung, sedangkan proses penyidikan dan penuntutan
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu
penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak
asasi manusia dari tersangka atau terdakwa.
Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
tindak pidana korupsi, Undang-undang ini mengatur kewenangan
penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan
perkara untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan
keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan hal
tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia.
Di samping itu, Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik
yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak
untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan
wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara ybs., dan
penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada
masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat
yang berperan serta tsb diberikan perlindungan hukurn dan penghargaan.
Selain memberikan peran serta masyarakat tsb, Undang-undang ini juga
mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang akan diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam jangka waktu
paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
Keanggotaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas
unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan tsb di atas, Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti
dengan Undang-undang ini.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "secara melawan hukum" dalam Pasal ini mencakup
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil,
yakni meskipun perbuatan tsb tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Namun apabila perbuatan tsb dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.
Maka perbuatan tsb dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata "dapat"
sebelum frasa "merugikan keuangan atau perekonomian negara"
menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil,
yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-
unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini
dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi
apabila tindak pidana tsb dilakukan pada waktu negara dalam keadaan
bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi
bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi,
atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Pasal 3
Kata "dapat" dalam ketentuan ini diartikan sama dengan Penjelasan
Pasal 2.
Pasal 4
Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka
pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara,
tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tsb.
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara
hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
Pasal 5 dan Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Dalam ketentuan ini, frasa "Angkatan Laut atau Angkatan Darat yang
dimuat dalam Pasal 388 KUHP harus dibaca "Tentara Nasional Indonesia".
Pasal 8 s/d Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan "ketentuan yang berlaku dalam Undang-undang ini"
adalah baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil.
Pasal 15
Ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada
percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3
(satu pertiga) dari ancaman pidananya.
Pasal 16
Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi yang bersifat transnasional atau lintas batas teritorial
sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil tindak
pidana korupsi antar negara dapat dicegah secara optimal dan efektif.
Yang dimaksud dengan "bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan"
dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
huruf a dan huruf b
Cukup jelas
huruf c
Yang dimaksud dengan "penutupan seluruh atau sebagian perusahaan"
adalah pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk
sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan.
huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1) dan Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim setelah eksekusi,
maka negara berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga
sebesar nilai hasil lelang atas barang tsb.
Ayat (4) dan Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengurus" adalah organ korporasi yang menjalankan
kepengurusan korporasi ybs. Sesuai dengan anggaran dasar, termasuk
mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan
kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana
korupsi.
Ayat (2) s/d Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 21 s/d Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang oleh Undang-undang
ditentukan untuk didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara
tsb diserahkan pada tiap lembaga yang berwenang di setiap proses
peradilan.
Pasal 26
Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan
penyadapan (wiretaping).
Pasal 27
Yang dimaksud dengan "tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya",
a.l tindak pidana korupsi di bidang perbankan perpajakan pasar modal,
perdagangan dan industri. Komoditi berjangka, atau di bidang moneter
dan keuangan yang:
a. bersifat lintas sektoral;
b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih atau
c. dilakukan oleh tersangkal terdakwa yang berstatus sebagai
Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang
No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan,
penuntutan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap
memperhatikan koordinasi lintas sektoral dengan Instansi terkait.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "rekening simpanan" adalah dana yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian
penyimpanan dana dalam bentuk giro deposito, sertifikat deposito,
tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
termasuk penitipan (custodian) dan penyimpanan barang atau surat
berharga (safe-deposit box).
Rekening simpanan yang diblokir adalah termasuk bunga deviden,
bunga obligasi, atau keuntungan lain yang diperoleh darisimpanan tsb.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 30
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada penyidik
dalam rangka mempercepat proses penyidikan yang pada dasarnya di dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa atau
menyita surat harus memperoleh izin teriebih dahuiu dari Ketua
Pengadilan Negeri.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pelapor" dalam ketentuan ini adalah orang yang
memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu
tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian keuangan negara"
adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan
hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "putusan bebas" adalah putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan "ahli waris" dalam Pasal ini adalah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Yang dimaksud dengan "petugas agama" dalam Pasal ini adalah hanya
petugas Agama Katholik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang
dipercayakan untuk menyimpan rahasia.
Pasal 37
Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib
membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut
ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tsb
tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut
umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas,
karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.
Pasal 38
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan
negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa
dan diputus oleh hakim.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Putusan" yang diumumkan atau diberitahukan
adalah petikan surat putusan pengadilan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan pula untuk menyelamatkan
kekayaan negara.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga
yang beritikad baik. Batasan waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksudkan
untuk menjamin dilaksanakannya eksekusi terhadap barang-barang yang
memang berasal dari tindak pidana korupsi.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan "mengkoordinasikan" adalah kewenangan Jaksa
Agung sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ayat (2)
Huruf a s/d Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Perlindungan hukum terhadap Pelapor dimaksudkan untuk memberikan
rasa aman bagi pelapor yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (3) s/d Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
penghargaan kepada masyarakat yang berjasa dalam tindak pidana
korupsi dengan disertai bukti-bukti, diberikan penghargaan baik berupa
piagam maupun premi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43 s/d Pasal 45
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3874

No comments: