Wednesday, June 27, 2007

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006
TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana;
b.
bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu;
c.
bahwa sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi Saksi dan/atau Korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
Mengingat : 1.
Pasal 1 ayat (3) Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1.
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan
2.
Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
3.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
4.
Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan Saksi dan/atau Korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana.
5.
Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban.
6.
Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.



Pasal 2

Undang-Undang ini diberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan.

Pasal 3

Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada :
a. penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
b. rasa aman ;
c. keadilan ;
d. tidak deskriminatif, dan
e. kepastian hukum

Pasal 4

Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.

BAB II
PERLINDUNGAN DAN HAK SAKSI DAN KORBAN

Pasal 5
(1) Seorang Saksi dan Korban berhak :
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
(2) Hak sebagimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.

Pasal 6

Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan :
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial

Pasal 7
(1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa :
a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia
b.
hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana
(2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
(3) Ketentuan lebih mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah



Pasal 8

Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 9
(1)
Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.
(2)
Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.
(3)
Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

Pasal 10
(1)
Saksi, Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
(2)
Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.

BAB III
LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 11
(1) LPSK merupakan lembaga yang mandiri
(2) LPSK berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia
(3). LPSK mempunyai perwakilan di daerah

Pasal 12

LPSK bertanggungjawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 13
(1) LPSK bertanggungjawab kepada presiden
(2) LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun

Bagian Kedua
Kelembagaan

Pasal 14

Anggotaan LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat.

Pasal 15
(1) Masa jabatan anggota LPSK adalah 5 (lima) tahun
(2)
Setelah berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota LPSK dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 16
(1) LPSK terdiri atas Pimpinan dan Anggota
(2)
Pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota
(3) Pimpinan LPSK dipilih dari dan oleh anggota LPSK
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Pimpinan LPSK diatur dengan Peraturan LPSK

Pasal 17

Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua LPSK selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 18
(1)
Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK dibentuk oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK
(2)
Sekretaris LPSK dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil
(3)
Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan organisasi, tugas, dan tanggung jawab sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden
(5)
Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak LPSK terbentuk

Pasal 19
(1)
Untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota LPSK dilakukan oleh Presiden
(2)
Dalam melaksanakan seleksi dan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden membentuk panitia seleksi.
(3)
Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 5 (lima), dengan susunan sebagaimana berikut :
a. 2 (dua) orang berasal dari unsur pemerintah; dan
b. 3 (tiga) orang berasal dari unsur masyarakat
(4) Anggota panitia seleksi tidak dapat dicalonkan sebagai anggota LPSK
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota LPSK, diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 20
(1)
Panitia seleksi mengusulkan kepada Presiden sejumlah 21 (dua puluh satu) orang calon yang telah memenuhi persyaratan.
(2)
Presiden memilih sebanyak 14 (empat belas) orang dari sejumlah calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)
Dewan Perwakilan Rakyat memilih dan menyetujui 7 (tujuh) orang dari calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

Pasal 21
(1)
Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon anggota LPSK diterima.
(2)
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan terhadap seorang calon atau lebih yang diajukan oleh Presiden, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya pengajuan calon anggota LPSK, Dewan Perwakilan Rakyat harus memberitahukan kepada Presiden disertai dengan alasan.
(3)
Dewan Perwakilan Rakyat wajib memberikan persetujuan terhadap calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon pengganti diterima.

Pasal 22

Presiden menetapkan anggota LPSK yang telah memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan diterima Presiden.



Bagian Ketiga
Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 23
(1) Anggota LPSK diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota LPSK harus memenuhi syarat :
a. warga negara Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c.
tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun;
d.
berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan;
e.
berpendidikan paling rendah S1 (strata satu);
f.
berpengalaman di bidang hukum dan hak asasi manusia paling singkat 10 (sepuluh) tahun;
g. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; dan
h. memiliki nomor pokok wajib pajak.



Pasal 24
(1) Anggota LPSK diberhentikan karena :
a. meninggal dunia;
b. masa tugasnya telah berakhir;
c. atas permintaan sendiri;
d.
sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan tugas selama 30 (tiga puluh) hari secara terus menerus;
e.
melakukan perbuatan tercela dan/atau hal-hal lain yang berdasarkan Keputusan LPSK yang bersangkutan harus diberhentikan karena telah mencemarkan martabat dan reputasi, dan/atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas LPSK; atau
f.
dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun.

Pasal 25

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota LPSK diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Keempat
Pengambilan Keputusan dan Pembiayaan

Pasal 26
(1)
Keputusan LPSK diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat
(2)
Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dicapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak.

Pasal 27

Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB IV
SYARAT DAN TATA CARA
PEMBERHENTIAN PERLINDUNGAN DAN BANTUAN

Bagian Kesatu
Syarat Pemberian Perlindungan dan Bantuan

Pasal 28
Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut :
a.
sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
b.

tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
c. hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
d. rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban

Bagian Kedua
Tata Cara Pemberian Perlindungan

Pasal 29
Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut:
a.
Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;
b.
LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c.
Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan

Pasal 30
(1)
Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban.
(2)
Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat :
a.
kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;
b.
kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatan;
c.
kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK;
d.
kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan
e.
hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK

Pasal 31

LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi dan/atau Korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 .

Pasal 32
(1)
Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan :
a.
Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
b.
Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam permintaan perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan;
c.
Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau
d.
LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan
(2)
Penghentian perlindungan keamanan sesorang Saksi dan/atau Korban harus dilakukan secara tertulis.

Bagian Ketiga
Tata Cara Pemberian Bantuan

Pasal 33

Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada seorang Saksi dan/atau Korban atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK.

Pasal 34
(1)
LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban.
(2)
Dalam hal Saksi dan/atau Korban layak diberi bantuan, LPSK menentukan jangka waktu yang besaran biaya-biaya yang diperlukan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta jangka waktu dan besaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 35

Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada Saksi dan/atau Korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut.

Pasal 36
(1)

Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerjasama dengan instansi terkait yang berwenang.
(2)
Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 36
(1)

Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerjasama dengan instansi terkait yang berwenang.
(2)
Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

BAB V
KETENTUAN PIDANA

Pasal 37
(1)

Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat manapun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
(2)
Setiap orang yang memerlukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)
Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Pasal 38

Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 39

Setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 40

Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau pasal 7 (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 41

Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 42

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh pejabat publik, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).

Pasal 43
(1)

Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 42 pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 44

Pada saat Undang-Undang ini diundangkan, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 45

LPSK harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 46

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaga negara Republik Indonesia


Disahkan di Jakarta
pada tanggal 11 Agustus 2006

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Agustus 2006

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

HAMID AWALUDIN


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 64


No comments: